DEMI BANGSA DAN NEGARA
Entah kenapa akhir-akhir ini kalau saya membaca dan atau menonton berita yang disampaikan oleh pemerintah, khususnya pemerintah pusat, seringkali timbul perasaan geli tanpa tahu pasti apa yang menyebabkannya.
Padahal pernyataannya pun belum lengkap didengarkan. Bahkan melihat wajahnya pun baru sekilas. Geli tidak pasti mengandung arti benar atau salah, baik atau buruk. Bisa saja orang tergelitik karena ada sesuatu mengandung kelucuan, bisa saja karena sebab jijik terhadap sesuatu.
Para ilmuwan juga mengungkapkan bahwa rasa geli berevolusi sebagai mekanisme pertahanan untuk melindungi area tubuh yang sensitif dan dapat merangsang hipotalamus, yaitu area otak yang bertanggung jawab atas reaksi emosional, dan memberi respon untuk melawan rasa sakit.
Sederhananya, perasaan geli timbul karena adanya respon tubuh sebagai bentuk perlawanan terhadap reaksi emosional yang diakibatkan dari kelucuan, kejijikan, dan kesakitan.
Misalnya pada kalimat yang seringkali muncul apalagi disaat musim kampanye yaitu kalimat “demi bangsa dan negara”, “bekerja demi rakyat”, “untuk Indonesia yang lebih baik”, “menyongsong Indonesia emas”, dan sebagainya. Bagi saya, kalimat-kalimat seperti itu tidak memiliki maknanya lagi.
Cenderung klise dan berbau kepalsuan. Apalah arti kata-kata bila tidak mengantarkan maknanya lagi? Kata-kata kehilangan maknanya, karena kelakuannya justru menunjukkan sebaliknya. Akan tetapi, semua pernyataan kepalsuan itu masih laku dan tumbuh subur di negeri ini. Semua karena masyarakat negeri ini memang sangat menyukai kepalsuan.
ORMAS DAN PP NOMOR 25 TAHUN 2024
Ada yang menarik dari ungkapan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya mengenai ramainya PP no. 25 tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang memungkinkan ormas mendapat izin pengelolaan tambang. Ia mengatakan, “daripada ormasnya setiap hari nyariin proposal, mengajukan proposal, kan lebih baik ormas mengelola dengan sayap bisnis yang rapi dan tetap profesional”. Sejenak kalimat itu membuat saya bertanya.
Apakah berarti selama ini ormas-ormas ini membiayai organisasinya hanya melalui proposal ya? Tapi sekejap saja saya tersadarkan, bahwa memang kalau jadi pengurus organisasi itu harus paham buat proposal dan punya jaringan untuk meloloskan proposal tersebut. Itu pertama kali saya dengarkan saat mahasiswa. Bahkan kegiatan HUT 17-an Agustus saja masyarakat kita juga menjalankan proposal kok, apalagi ormas-ormas yang besar ya. Mungkin saja kecurigaan saya itu salah. Tetapi sejenak mengingatkan saya kepada puisi Gus Mus yang berjudul “Negeri Amplop”. Bisa jadi sekarang sudah menjadi “Negeri Amplop dan Negeri Proposal”.
Memang tak disebutkan secara konkret mengenai diperbolehkannya kepemilikan izin kelola oleh ormas keagamaan didalam PP tersebut, hanya disebutkan ormas. Tetapi ormas keagamaan tetaplah termasuk dari bagian organisasi kemasyarakatan juga. Pertanyaannya bukanlah pada apa relevansinya, melainkan apa urgensinya ormas keagamaan mengelola tambang?
Dunia pertambangan, pengelolaan hutan, dan lingkungan hidup di negara ini masih silang-sengkarut. Masih berkutat dengan masalah lama yang belum selesai hingga saat ini, bahkan mengalami peningkatan eskalasi keparahannya. Belum di bidang-bidang yang lain. Semua ini terjadi akibat banyak perkara yang tidak diserahkan kepada ahlinya atau orang yang kompeten di bidangnya.
Rasulullah SAW bersabda:
“Apabila amanah sudah hilang, maka tunggulah terjadinya kiamat”. Orang itu (Arab Badui) bertanya, “Bagaimana hilangnya amanat itu?” Nabi saw menjawab, “Apabila suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah terjadinya kiamat.” (HR. Al-Bukhari).
ORMAS KEAGAMAAN JANGAN MENYODORKAN DIRI
Menurut leluhur, batas antara hidup dan mati sangat tipis. Tetapi lebih tipis lagi batas antara rasa marah dan rasa iri hati kepada ormas keagamaan yang diperbolehkan dapat jatah izin kelola tambang nanti. Kita marah karena akhirnya nepotisme dan kolusi yang selama ini menjamur di masyarakat telah menjadi legal. Dan kita iri karena tidak dapat jatah izin mengelola tambang seperti ormas-ormas yang dapat jatah.
Kita bisa saja tutup mata dengan praktek-praktek kolusi nepotisme yang terjadi bahkan yang disekitar kita. Tapi mata hati kita tak bisa dibutakan begitu saja. Semuanya terjadi terus menerus, 27 jam dalam sehari, dalam skala kampung sampai yang paling tinggi, hanya berganti masa dan pemainnya saja.
Kemudian datanglah orang-orang terdidik yang berkelompok untuk menjembatani harapan masyarakat. Mereka tidak dititipi amanah, tetapi didasari oleh semangat pengabdian. Bahkan yang lebih dari itu adalah ormas keagamaan. Bukan hanya memiliki tanggung jawab kemasyarakatan saja, tetapi mereka juga memiliki tanggung jawab keumatan. Lebih dahsyat. Karena tugas keumatan itu akan melahirkan pengayoman dan penyatuan. Ummat/ummah adalah orang-orang yang seperibuan, artinya memiliki kesamaan nilai kehidupan. Jadi tidak mungkin ormas keagamaan akan melahirkan perpecahan dan kesemerawutan di masyarakat dan ummat.
Oleh karena itu, ormas keagamaan haruslah bersikap sebagai “orang tua”nya masyarakat. Sebagaimana sikap orang tua itu adalah kasih sayang dan tidak ikut rebutan dengan anak cucu. Kalau seluruh kamar di rumah diisi penuh oleh anak cucu, maka orang tua rela untuk tidur di ruang tamu. Kalau nasi hanya cukup makan anak cucu, orang tua rela tidak makan.
Saya tidak tahu, apakah nanti ormas keagamaan ini akan ikut rebutan? Atau yang lebih parah lagi adalah malah menyodor-nyodorkan diri untuk direbut.
Wallahu a’lam bish-shawab.