Dikabarkan bahwa Nabi semenjak masih kecil sudah belajar mengembala, ini bermula saat beliau masih berada di kediaman ibu susuan Nabi yaitu Halimah as sa’diah.
Rutinitas sebagai pengembala ini justru berlanjut hingga Nabi menginjak usia dewasa, meskipun saya sendiri tidak berniat mencari tahu tepatnya di usia berapa Nabi mulai meninggalkan aktifitasnya sebagai pengembala.
Ada hal yang unik dibalik rutinitas sebagai pengembala, saya sebut UNIK karena hal ini bukan saja terjadi kepada Nabi Muhammad, justru terjadi pada Nabi-nabi sebelumnya, misalnya Ibrahim (Abraham), Isa (Yesus), Musa (Moses) dan lainnya. Dikabarkan bahwa ada begitu banyak Nabi yang pernah menjalani aktifitas sebagai pengembala, bahkan juga di kabarkan pada sebuah hadist yaitu Nabi Muhammad mengklaim bahwa semua Nabi pernah menjalani aktifitas sebagai “pengembala”.
Misalnya pada sebuah hadist di kabarkan;
“Allah tidak mengutus seorang Nabi melainkan dia pernah menggembala kambing. “Para sahabat bertanya, “Dan engkau, ya Rasulullah?” Beliau bersabda. “Dan, aku sudah pernah juga menggembala kambing milik orang Makkah dengan menerima upah yang tidak seberapa banyaknya.” (HR. Bukhari).
Pertanyaannya yang muncul di benak kita adalah, ada apa dengan mengembala?
Apa yang menarik dari aktifitas mengembala ini?
Tentu saja usaha untuk menjawab pertanyaan ini akan melahirkan beberapa interpretasi. Salah satu interpretasi yang mungkin biasa kita dengar yaitu bahwa aktifitas mengembala ini merupakan latihan untuk Nabi dalam melatih kesabaran, dengan membayangkan bahwa prilaku hewan sulit diarahkan, konon terkhusus hewan ternak kambing ataupun domba.
Selain di pahami sebagai aktifitas yang dapat melatih kesabaran, aktifitas mengembala ini sering dikaitkan dengan “mengarahkan” bahkan ada juga dipahami sebagai latihan untuk “memimpin” sebelum menjalani tugas memimpin sekelompok manusia ke jalan yang benar. Hal ini mungkin terdengar sedikit berlebihan.
Saya juga pernah mendengar tentang istilah “domba yang tersesat” dalam ceramah pendeta Kristiani yang ditayangkan di TV, ini seperti mengandaikan ada orang-orang yang menolak mengikuti ajaran Yesus. Mohon di koreksi jika saya salah. Maksud saya sebetulnya, hanya ingin menunjukkan bahwa di masa itu orang-orang mengenal Yesus sebagai pengembala domba.
Ada dua kata kunci pada judul tulisan, pertama “Pengembala”, dan kedua soal “Pasar” yang minimal tidak disukai Nabi jika tidak menggunakan kata benci. Saya nantinya akan menjelaskan tentang kaitan atau hubungan mekanis antara keduanya, tentu terbatas yang saya pahami (tentu mengandung subyektifitas) hal ini memungkinkan adanya dialog untuk pemahaman yang lebih baik.
Pada tulisan ini saya tertarik untuk mengembangkan sebuah interpretasi bahwa “mengembala” pada dasarnya adalah menjauhi kerumunan manusia, menjauhi keramaian, kebisingan, tempat yang jarang ditemui manusia lalu-lalang yaitu menuju tempat-tempat sepi (menyepi), sunyi yang dipenuhi padang rumput di mana tempat bertemunya hewan dan makanannya.
Selanjutnya, sembari mengawasi kambing ataupun domba agar tidak berpencar kemana-mana, sang pengembala diwajibkan menunggu dengan sabar. Kita tentu tahu jika hewan yang digembalakan butuh waktu lama dalam hal makan atau bahkan mungkin butuh waktu sepanjang hari, tidak sama halnya dengan manusia. Selain soal makan hewan, tentu saja yang penting soal kawin agar hewan dapat berkembang biak.
Rentang waktu menunggu dengan sabar inilah memungkinkan seorang Nabi, atau mungkin lebih tepatnya “calon Nabi” mengasah kemampuan berfikirnya. Seorang Nabi sudah tentu harus memiliki kualitas sebagai intelektual atau “inteligensia” yaitu suatu istilah yang belakangan dikembangkan oleh Yudhi Latif.
Menjauhi keramaian dan kebisingan adalah situasi yang diperlukan untuk proses pikir yang hati-hati, yaitu menganalisa dengan kritis yang kemudian dapat melahirkan kejernihan dan kedalaman makna, menggali keutamaan nilai, menyingkirkan berbagai macam kepalsuan yang ditampilkan manusia dengan kondisi hatinya yang keruh dan seterusnya.
Sedangkan “Pasar” adalah tempat di mana manusia banyak berkerumun, penuh keramaian dan bising. Karena itu pasar merupakan tempat PALING RAMAI DIKUNJUNGI yang kemudian menjadi tempat di mana manusia beradu kepentingan.
Jika di suatu tempat ada banyak manusia berkerumun, sekelompok manusia lain yang memiliki kemampuan untuk membaca “peluang”, akan tertarik menggunakannya sebagai tempat untuk bedagang, atau menaruh kepentingannya untuk menguasai hal-hal tetentu di keramaian itu.
*note: kata-kata yang saya tulis dengan menggunakan huruf kapital semua, itu sebenarnya adalah kata kunci yang merupakan upaya bagi saya untuk mencari dan mendekati Kontekstual.
Lalu apa yang membuat Nabi tidak menyukai Pasar?
Saya membayangkan jika ada pedagang melakukan segala cara agar dagangannya dapat diminati banyak orang, hal tersebut memungkinkan akan melahirkan KEPALSUAN atau kelompok-kelompok tertentu berusaha dengan segala cara agar dapat menguasai hal-hal tertentu pada sebuah keramaian maka akan melahirkan KEPENTINGAN, disebut kepentingan karena akan dengan sengaja melihat segala sesuatunya sebagai hal yang rendah atau tidak penting demi terlaksananya KEPENTINGAN, maka agar kepentingan tidak terlihat di permukaan maka perlu ditutupi dengan KEPALSUAN.
Sekedar mencontohkan apa yang dimaksud dengan kepalsuan, pada era jauh sebelum Nabi dapat mengambil alih kepemimpinan di kota Makkah, Ka’bah saat itu yang seharusnya kosong, tidak ada apa-apa didalamnya, kemudian berkembang dan telah di isi oleh ratusan berhala yang mewakili begitu banyak kepercayaan, ini menjadikan begitu banyak orang mengimajinasikan bahwa ada begitu banyak tuhan (politeisme) karena itu kemudian orang-orang memahami bahwa tuhan mu dan tuhan ku berbeda (tidak sama) sehingga orang-orang terjebak dalam kepalsuan bahwa ada begitu banyak tuhan. Dan kemudian orang-orang meyakini lalu menyembah tuhannya masing-masing.
Pada awalnya Ka’bah hanya menjadi tempat ibadah bagi para penganut agama yang berasal dari tradisi abrahamik (Ibrahim) namun kemudian berkembang, sehingga ada begitu banyak agama atau kepercayaan yang kemudian ikut haji kesitu.
Perkembangan Ka’bah menjadi tempat haji berbagai agama dan kepercayaan menjadikan kota Makkah sebagai tempat paling ramai di kunjungi. Pada akhirnya Makkah kemudian berkembang sebagai tempat perdagangan (pasar) internasional pada saat musim haji tiba.
Perkembangan kota makkah sebagai tempat perdagangan internasional, telah menjadikan Makkah bukan hanya tempat ibadah haji, namun telah mengundang orang-orang dari berbagai penjuru dunia untuk berdagang dan belanja (shoping) di Makkah. Bahkan properti termahal dan termewah yang berasal dari berbagai penjuru dunia sudah diperdagangkan disitu. Properti-properti terbaik saat itu diperkirakan adalah perhiasan-perhiasan emas, perak, pakaian terbuat dari sutra, minuman mewah seperti anggur, khamr, perempuan-perempuan yang djual dan dijadikan budak-budak seks dari berbagai belahan dunia dan masih banyak lagi. Bahkan dikabarkan, di Nusantara saat itu telah terjalin hubungan perdagangan dengan Makkah yaitu tepatnya pulau baros yang komoditinya adalah kapur baros. Kapur baros saat itu telah dikenal sebagai bahan untuk mengawetkan mayat.
Karena Makkah berkembang menjadi pusat perdagangan internasional, maka mata uang yang menjadi alat tukar pun tentu berlaku juga secara internasional, oleh sebab itu mata uang yang digunakan adalah logam mulia yaitu emas (dinar) dan perak (dirham).
Mengandaikan bahwa ada begitu banyak tuhan atau disebut politeisme, menjadikan keterhubungan antar sesama manusia akan terpecah belah, memutus hubungan antar sesama manusia. Karena itu pesan Qur’an bahwa kamu semua berasal dari nenek moyang yang sama (adam) dan kamu semua berasal dari Tuhan yang satu (Tuhan yang sama) merupakan titik temu (kalimatun sawa’) yang dapat memberi pemahaman bahwa antar sesama manusia memiliki keterikatan, karena semua manusia berasal dari Tuhan yang sama.
Pesan bahwa semua manusia berasal dari Tuhan yang sama atau kalian semua berasal dari Tuhan yang satu, merupakan titik temu yang dapat menghubungkan berbagai narasi keagamaan, yang di maksud adalah bukan saja Tuhannya Muhammad, atau Tuhannya umat Islam saja tapi Tuhan seluruh umat manusia, Tuhan semesta alam. Meskipun setiap orang memiliki berbagai interpretasi yang berbeda tentang Tuhan, karena dengan keterbatasan wawasan yang berbeda dan berasal dari basis kultural dan kepercayaan yang berbeda akan melahirkan keragaman interpretasi tentang tuhan dan alam. Perbedaan interpretasi sebetulnya merupakan ruang untuk terjadinya dialog.
Politeisme pada dasarnya telah memutuskan keterikatan antar sesama manusia, melahirkan kondisi kemanusiaan yang terpecah-belah yaitu saling tidak peduli (membunuh empati) terhadap nasib manusia lain yang kemudian berkembang hingga terjadinya saling permusuhan dan perbudakan antar sesama manusia.
Pesan bahwa manusia berasal dari nenek moyang yang sama tentu pula berasal dari Tuhan yang sama, meski kemudian di interpretasikan secara berbeda akan memberi fondasi bahwa antar sesama manusia seharusnya memiliki keterikatan, sehingga memungkinkan adanya sikap pesaudaraan antar sesama manusia, dengan memahami, bahwa dulunya manusia berasal dari rumpun yang sama namun kemudian setelah perjalanan sejarahnya kemudian menjadi bersuku-suku dan berbangsa-bangsa.
Karena Makkah telah berkembang sebagai pusat perdagangan internasional, hal ini telah melahirkan sistem “kapitalisme” ini telah terjadi diperkirakan dimulai abad keenam dan ketujuh masehi atau justru lebih awal lagi (maaf untuk urusan ini perlu penelitian teks-teks sejarah). Munculnya sistem kapitalisme tersebut disponsori oleh berkembangnya kota Makkah sebagai pusat perdagangan internasional. Tentu saja munculnya kapitalisme yang kita baca dibuku-buku adalah melalui revolusi industri yang lahir dan kemudian berkembang pada abad ke 17 di Eropa.
Karena itu, dalam batas-batas tertentu saya ingin mengklaim bahwa kapitalisme pertama yang terjadi dunia adalah di kota Makkah melalui berkembangnya kota Makkah sebagai pusat perdagangan internasional.
Seiring dengan perkembangan Makkah sebagai pasar global, yang dihubungkan dengan alat transportasi laut yaitu melalui era kapal-kapal layar yang dapat menghubungkan kota Makkah dengan orang-orang berbeda dari berbagai penjuru dunia, kemudian Makkah telah menghasilkan sekelompok orang-orang terkaya (“borjuis” Makkah) saat itu mereka diperkirakan banyak berasal dari bani Ummayyah. Kelompok “borjuis” inilah yang kemudian paling keras memerangi kelompok Nabi. Mereka adalah orang-orang yang telah berhasil menguasai hal-hal tertentu di keramaian itu (pasar) hingga mereka menjadi orang terkaya tanpa adanya pusat pemerintahan yang bertugas mendistribusikan kekayaan, karena Makkah saat itu hidup berdasarkan kesukuan.
Para “borjuis” misalnya dari kalangan orang-orang bani Ummayyah mengekpresikan kemewahan hidup mereka dengan kebanggaannya saat menampilkan pakaian mewah yang nyosor hingga ketanah “isbal” (di kepulauan Nusantara saat itu sekitar abad ketujuh orang-orang mungkin belum mengenal pakaian sama sekali selain menutupi alat kelamin), selain itu mereka mengekresikan kemewahan hidup mereka dengan perhiasan, (konon properti-properti termahal yang dihasilkan oleh berbagai belahan dunia saat itu sudah ada dan dijual di Makkah) dan bagi para lelaki borjuis mereka mengekspresikan kemewahan hidup dengan memiliki begitu banyak istri dan budak (memiliki Istri dan budak saat itu dipahami adalah setingkat properti, selain properti tanah dan kepemilikan hewan-hewan ternak, ini misalnya dapat dijelaskan dengan tradisi jahilliyah tentang pewarisan istri kepada anak jika ayahnya meninggal).
Pasar saat itu adalah tempat di mana orang-orang menampilkan kepalsuan, ada sebagian orang yang merasa dirinya bergelimpangan harta kemudian Ingin menjadi pusat perhatian di keramaian lalu memamerkan kemewahan hidupnya di pasar yaitu agar orang-orang melihatnya dengan pandangan “betapa kayanya dia, betapa bahagia jika hidup seperti dia, uangnya banyak, pakaiannya bagus, perhiasan-perhiasannya mewah dan istri-istrinya cantik dan budaknya banyak” pen.
Orang-orang yang menampilkan kemewahan hidup seperti itu secara tidak sengaja telah membawa pesan agar orang-orang yang melihatnya untuk tergiur menaruh standar kebahagiaan mereka agar terikat dengan kepemilikan harta atau materi atau berapa banyak jumlah kekayaan mereka (selanjutnya saya ingin menyebut ini sebagai standar kebahagiaan nominal). Situasi ini akan melahirkan susana kecemburuan sosial, sehingga orang-orang yang miskin dapat saja disiksa oleh kecemburuan mereka. Disisi lain, ketergiuran mereka (yang didapat karena berlama-lama dipasar) untuk menjadi orang kaya, sebetulnya dalam waktu yang sama mereka telah menaruh standar kebahagiaan nominal sebagai bentuk “kebahagiaan sebenarnya” yang merupakan KEPALSUAN hingga kemudian masuk perlahan dan tertanam dibenak begitu banyak manusia.
Tertanamnya standar kebahagiaan nominal yang mewabah kepada begitu banyak orang telah memotivasi orang-orang untuk mengumpulkan kekayaan. Proses-proses usaha untuk mengumpulkan kekayaan, telah membuat begitu banyak orang tersiksa secara psikologis karena telah tertanam dibenak mereka sebagai standar kebahagiaan nominal, maka mereka yang terjebak kepalsuan ini tidak dapat menikmati hidup hari ini (tidak dapat bersyukur), semuanya terasa serba sulit. Mereka hanya akan bahagia kalau sudah menjadi kaya (atau sesuai dengan kebahagiaan yang mereka bayangkan). Seseorang yang telah tertanam dibenaknya bahwa kebahagiaan adalah tercapainya kondisi tersebut, maka sebetulnya ia telah membatasi dirinya untuk menikmati hidup hanya jika tercapainya kondisi itu. Bagaimana jika usaha-usahanya dalam kurun waktu yang sangat lama tidak membuahkan hasil? tentu saja ia akan tersiksa dalam waktu yang sangat lama, ini bisa saja terjadi hingga akhir hayatnya. Ketersiksaan secara psikologis ini akan terasa jika semua usaha yang mereka lakukan tidak kunjung membuat mereka kaya, ini dapat berbuah keprihatinan psikologis yaitu dapat berujung depresi.
Sedangkan dalam sistem kapitalisme orang-orang yang dapat menjadi orang kaya, jumlah “kursi”nya sangat terbatas, sedikit sekali, justru sistem kapitalisme menyediakan “kursi” untuk kemiskinan dalam jumlah yang sangat “Buanyakk”
Keperihatinan selanjutnya adalah bagi orang-orang yang MEMPERTARUHKAN NASIB mereka. Yaitu, orang-orang yang termotivasi untuk menjadi kaya hingga membuatnya rela bertaruh nasib, misalnya bagi orang yang tidak memiliki akses modal tergiur pinjam modal untuk memulai usaha seperti memberangkatkan kafilah dagang yang membutuhkan jumlah modal yang cukup besar. Karena itu mereka meminjam modal kepada kelompok borjuis, sebagai jaminan atau “anggunan” mereka mempertaruhkan rumah satu-satunya tempat tinggal, atau jika itu tidak cukup, mereka rela melepaskan statusnya sebagai orang merdeka kemudian menjadi budak (budak adalah orang yang tidak memiliki hak atas hidupnya sendiri) atau jika dinilai umur orang itu tidak produktif lagi sebagai budak, mereka harus merelakan anak-anak perempuan (yang “good looking”) sebagai budak seks dan juga budak laki-laki sebagai tenaga kerja gratis. Mereka akan dijadikan budak jika nanti modal yang mereka pinjam tidak dapat dikembalikan karena kegagalan usaha. Hal ini sebetulnya yang saya bayangkan tentang kengerian riba di masa itu.
Saya membayangkan kasus-kasus orang yang tidak berhasil mengembalikan modal usaha kepada orang-orang borjuis itu dengan sejumlah bunga yang beranak pinak, telah memberi tamparan yang amat keras, misalnya orang tua yang berteriak histeris ketika anak perempuannya yang termasuk kedalam jaminan itu menjadi budak seks.
Hal ini menjelaskan bagaimana kemudian ada orang tua yang terinpirasi membunuh anak perempuannya sendiri jika mereka hidup dalam situasi kemiskinan. Ini sebetulnya adalah sikap antisipatif agar nanti anak perempuan mereka tidak mengalami hidup dalam penderitaan yang teramat mengerikan.
Rasulullah SAW bersabda: “Jika kamu mampu, janganlah menjadi orang yang pertama kali masuk pasar, dan jangan pula menjadi yang terakhir keluar darinya, sebab pasar adalah tempat perangnya setan, disanalah ia menancapkan benderanya.” (HR Muslim).
Hadist tersebut menyiratkan kekhawatiran Nabi terhadap nasib psikologis orang-orang yang jalan-jalan dan berlama-lama di pusat keramaian, yang saat itu pusat keramaian tersebut hanyalah pasar, maka jika ia berlama-lama di pasar ia kemudian akan terancam terbuai oleh KEPALSUAN yang di tampilkan oleh keramaian itu.
Wallahu’alam bishowab.
Sebagai tambahan saya ingin menaruh beberapa catatan tentang “Pengembala” dan “Pasar” dalam konteks kekinian.
Sebagai orang yang pernah aktif di HMI, saya merasa khawatir tentang masa depan Mahasiswa dengan perkembangan teknologi sekarang. Ditempat yang seharusnya paling sepi dan sunyi adalah kamar-kamar mereka sendiri yang diharapkan dapat melahirkan kejernihan dan mengasah kemampuan berfikir kritis namun hari ini dapat menghadirkan “keramaian” yang juga menghadirkan kepalsuan dengan kebiasaan mereka scrool-scrool tik-tok atau media sosial lainnya, atau malah main game sepanjang hari, lalu kapan mereka dapat meluangkan waktu dengan kontemplasi dan kemudian diskusi hingga dapat mengasah ketajaman mereka dalam berfikir.
Selanjutnya, bahwa apa yang dimaksud pasar di era Nabi, saat ini mungkin tidak lagi dapat dikaitkan dengan apa yang kita sebut pasar hari ini yaitu tempat mereka menemukan bahan pokok seperti beras dan sayuran serta pakaian, namun saat ini kata kunci pasar adalah dapat diganti sebagai YANG PALING RAMAI DIKUNJUNGI, hal ini bisa saja disebut media sosial seperti tik-tok, facebook, instagram dengan konten yang ramai dikunjungi atau sejenisnya dan bisa juga itu di sebut Pemilu atau bisa berbentuk situs-situs perjudian seperti slot pragmatik dan lain sebagainya yang dapat menampilkan kepalsuan dan kemudian dapat membuat kekeruhan di hati dan pikiran.
Selanjutnya, dengan sistem UKT, orang-orang tua mereka terbebani dan dipaksa untuk mampu atau tidak mampu harus membayar UKT. Akhirnya, dengan situasi sulit itu orang tua mereka mengingatkan anaknya secara berulang-ulang untuk selesai kuliah cepat. Disisi lain Kampus hanya termotifasi untuk membangun “raga” dan melupakan pembangunan jiwa. Universitas hanya merasa bertugas melahirkan sarjana melupakan tugasnya untuk melahirkan Ilmuwan, bahkan saat ini mungkin tidak mampu lagi melahirkan Intelektual yang kemampuannya diasah oleh organisasi Mahasiswa, karena saat ini sudah ada indikasi bahwa Mahasiswa takut untuk berorganisasi secara serius karena khawatir jika itu dapat menganggu orientasinya untuk cepat selesai kuliah.
Situasi yang saya bayangkan hari ini tentang Indonesia adalah “Rakyat menderita tapi tak bersuara” ini sebetulnya adalah berbagai masalah yang menyebabkan begitu banyak anggota masyarakat yang kondisi psikologisnya terancam untuk depresi.
Mahasiswa yang diharapkan dapat menyuarakan suara Rakyat namun sibuk dengan realitasnya sendiri, mereka berjuang sendiri dan tersakiti sendiri.
Tentang situasi hari ini saya berharap mudah-mudahan saya salah bahwa itu tidak terjadi.
Terimakasih telah membaca.