SorotBengkulu – Apa persamaan sekaligus perbedaan sepak bola dengan negara? Kalo persamaannya, disepak bola seringkali pelanggaran sebelum terjadinya goal pertandingan, dianggap tidak terbukti oleh wasit dan tetap berlaku goal, sebagaimana goal tangan dewa Maradona yang legendaris itu.
Dinegara juga terjadi yang sama, tak jarang dengan pelanggaran hukum yang terjadi, hakim tidak memvonis seperti sebagaimana pelanggaran yang telah dilakukan.
Faktanya, sekarang banyak orang mustinya tak masuk bui malah masuk bui, dan orang yang mustinya masuk bui malah tak masuk bui. Sedangkan yang membedakan sepakbola dan negara adalah, bagaimanapun caranya, yang main atau yang menonton, sepak bola selalu menghadirkan kegembiraan dan kebersamaan.
Namun, belakangan ini negara lebih banyak memberikan kegalauan dan kedukaan bagi hatimu yang rapuh itu. Maksudnya ketika saya ngomong negara, yang saya maksudkan adalah pemerintah. Karena di Indonesia ini memang tidak pernah jelas batas antara negara dan pemerintah.
Presiden itu kepala negara atau kepala pemerintah?
Kalo jawabannya kepala negara dan kepala pemerintah itu sama saja, kok bisa sama?
Harusnya ada bedanya dong antara kepala keluarga dan kepala rumah tangga. Kementerian itu bawahannya kepala negara atau kepala pemerintah?
UUD 1945 itu produk negara atau produk pemerintah?
Harusnya jelas dong, mana aturan negara dan mana aturan pemerintah. Negara membuat aturan untuk jangka panjang, menengah, dan pendek. Kemudian pemerintah menjalankannya. Tidak bisa pemerintah lima tahunan (outsourcing) itu berlaku menurut kemauannya sendiri.
Pemerintah harus berlaku persis sebagaimana perintah kemauan negara. Aparatur Negri Sipil itu pegawainya negara atau pemerintah?
MPR, DPR, BPK, KPK, POLRI, TNI, Komisi Yudisial, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, itu lembaga pemerintah atau lembaga negara?
Kalau memang lembaga negara, mustinya jangan dong Kapolri dilantik oleh kepala pemerintah. Ketua KPK jangan juga dong dilantik kepala negara. Karena KPK sebagai lembaga negara itu tugas utamanya adalah mengawasi kepala pemerintahan. Kalo ia dilantik oleh kepala pemerintahan, sungkan dong meriksa yang melantik. Sebagaimana yang baru saja berlalu dan aromanya masih tercium, yaitu yang terjadi di Mahkamah Konstitusi kemarin.
Presiden melantik Ketua MK yang secara personal merupakan iparnya. Iparnya yang telah dilantik sebagai Ketua MK menangani perkara ambang batas usia pencalonan presiden yang kemudian produk keputusannya itu divonis melanggar etik berat oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Inilah momentumkrusialnya.
Kalau maradona melakukan handsball kemudian menggulirkan bola masuk kegawang, harusnya wasit meniup peluit karena orang yang menendang bola kedalam gawang melakukan pelanggaran dan menganulir goal tersebut.
Jadi kesimpulannya, goal menjadi batal atau tidak berlaku secara otomatis karena person yang menggulirkan bolanya telah melakukan pelanggaran. Kalau MK mengeluarkan keputusan tetapi person yang memutuskannya itu terbukti melakukan pelanggaran, masa keputusannya tetap berlaku?
Didalam kebudayaan kita, ada yang namanya kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Dalam bahasa modernnya logik, etik, dan estetik. Kemudian dalam konteks kehidupan sosio-kultural dari ketiganya tersebut melahirkan hukum, akhlak, dan (sebut saja) kemesraan sosial. Dari ketiganya itu hukum menjadi. produk terendah dari produk suatu kehidupan bermasyarakat.
Masyarakat yang masih mengandalkan pergaulannya sehari-hari menggunakan hukum, artinya masih rendah kebudayaannya. Masih rentan dengan terjadinya perilaku yang meugikan satu sama lain.
Masyarakat yang sudah gemah ripah loh jinawi, baldatun toyyibun warabbun ghofur, tidak memerlukan hukum sebagai pedoman untuk berkelakuan, akan tetapi hukum tetap diadakan sebagai sarana untuk membatasi atau memagari determinasi pergaulan masyarakat.
Jadi jangan heran bila terdapat masyarakat yang sudah mengandalkan kebijaksanaan akhlak dan telah mesra secara sosial bergaul melampaui batas-batas hukum karena hukum sudah tidak menjadi nilai yang berlaku.
Tapi apakah dalam pergaulan bernegara kita juga demikian?
Kalau Ketua MK telah divonis melanggar etik, harusnya produk hukumnya (No.90/PUU-XXI/2023) juga secara impulsif tidak bisa berlaku. “PUTRI GADING CEMPAKA KECANTIKANNYA TAK BISA DIBUKTIKAN DI MK ” Semua orang tau dan mengalami sendiri kecantikan putri gading cempaka.
Berarti perempuan darah biru keturunan majapahit itu memang cantik?
Nanti dulu. Barangkali setelah bersidang, MK akan memutuskan bahwa kecantikan putri gading cempaka tidak terbukti.
Bagaimana cara hakim memutuskan sesuatu bila tak memiliki bukti?
Mengapa dalam memutuskan hakim harus memiliki bukti?
Apakah bukti yang didapatkan hakim adalah benar-benar bukti?
atau bukti itu interpretasi hakim juga?
Apakah hakim tak boleh memutuskan berdasarkan keyakinannya?
Apakah keyakinan hakim tak penting?
Kalau semua perkara itu pasti memiliki bukti, apa susahnya menjadi hakim Justru anda itu menjadi hakim karena kemampuan anda untuk menganalisa persoalan itu dianggap sudah mumpuni dan maestro. Ketajaman rasa anda telah matang karena mampu membedakan mana suara hati dan ego diri.
Pisau logika anda telah sampai pada kepresisiannya. Maka dari itu anda menjadi seorang bijak yang dipercayai dapat adil memutuskan nasib seseorang berdasarkan perbuatannya dan peristiwa yang ditimbulkannya. Tidak semua perbuatan itu dapat ketahuan, seringkali tak terlihat.
Maka analisalah peristiwa yang sedang terjadi. Bila perilakunya tak ketahuan, persitiwanya juga ambigu, hakim memanggil beberapa ahli ilmu untuk dimintai keterangan. Gunanya untuk memudahkan hakim menganalisa dan menemukan jalur benang yang telah kusut.
Dalil-dalil hukum juga dianalisa hakim untuk membantu menerangkan bagaimana menyelesaikan sengketa. Tapi dari kesemuanya itu tetap adalah alat bantu hakim. Nanti keputusan hakim tetap mengandalkan keyakinan yang output-nya adalah kebijaksanaan hakim. Dan bila hakim memvonis hanya berdasarkan alat bukti dan beberapa keterangan ahli serta sedikit dalil-dalil hukum, berarti hakim tidak bijaksana.
Karena meyampingkan dan meremehkan sesuatu yang tak bisa dinyatakan dalam bentuk bukti materil. Seperti rasa rindu kepada orang tua yang telah tiada tak bisa menjadi alat bukti sidang. Seperti penyelenggaraan PEMILU kali ini yang sangat terasa kecurangannya, tapi tetap tak bisa menjadi alat bukti dipersidangan MK.
Itulah gunanya hakim karena anda mampu menemukan kebenaran dari sesuatu yang tak tersembunyi.
Kalo anda hakim hanya menunggu alat bukti, untuk apa anda punya otak dan hati?
Tak kau gunakankah?
Kalau begitu tak mesti orang bijak, preman-pun bisa jadi hakim.
Yaa…terserah-terserah kalian lah.
TITIP PERTANYAAN
Sebenarnya saya selalu menghindar untuk memberikan penjelasan, saya hanya berani untuk menitip pertanyaan kepada saudara-saudari.
Kualitas zaman tidak bisa dilihat dari jawabannya, tapi zaman berkualitas karena mampu menemukan pertanyaan-pertanyaan atas kehidupan.
Suatu waktu saya ditanya bagaimanakah negara yang ideal itu?
Yaitu negara yang ngomongnya apa, yang dikerjakan apa.
Kalo memilih keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang kamu kerjakan apakah demi keadilan sosial?
Atau demi keadilan individu?
Atau bahkan demi kemakmuran individu?
Tetap pada akhirnya saya tak utuh menjawab, saya kembali menitip pertanyaan.
Menurutmu apakah negara yang menyantuni rakyat?
Ataukah rakyat yang menyantuni negara?
Apakah kota yang menyantuni desa?
Ataukah desa yang menyantuni kota?
Kalau belum tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, itu karena kita belum menuju kesana? Atau memang tidak menuju kesana?