Dempo XLer

Madinah dan Ujian Keadilan Nabi

Fitrah Insani
ujian keadilan nabi
Tokoh Komputer Bengkulu

SorotBengkulu – Saya ingin memulai kisah ini dengan mengandaikan bagaimana jika Nabi dihadapkan dengan ujian untuk bersikap adil, yaitu dimana ia sebagai pemimpin Madinah dihadapkan dengan sebuah kasus yang memaksanya memilih untuk tetap bersikap adil secara konsisten atau membela orang yang berasal dari kelompoknya sendiri (Anshor) yang senantiasa membela Nabi, namun jika itu dilakukan hal tersebut bisa berakibat menciderai keadilan.

HIJRAH KE MADINAH

Perjalanan Menuju Kota Nabi

Setelah Hijrahnya Nabi ke Yastrib, dan Yastrib akhirnya secara resmi diberi Nama Madinah (kota Nabi) oleh Rasul. Kaum Muhajirin yaitu rombongan yang mengikuti hijrahnya Nabi kemudian bergabung dengan kelompok Aus dan Khazraj sehingga menjadi satu kelompok yang terbesar dan paling dominan di Madinah.

PIAGAM MADINAH

Jaminan Sosial dan Konstitusi Pertama

Perjanjian Madinah atau piagam Madinah secara resmi menjadi hukum tertulis pertama (“konstitusi”) yang mengikat semua suku-suku yang ada di Yastrib untuk tunduk patuh terhadap hukum tersebut. Piagam Madinah menjadi jaminan sosial baru bagi kehidupan yang damai untuk berbagai suku dan kelompok yang ada di Yastrib.

KASUS PENCURIAN DI MADINAH

Baju Zirah yang Membawa Ujian

Tercatat dalam sejarah ada sebuah kasus yang menarik. Kasus tersebut adalah kasus pencurian baju zirah perang. Baju perang pada masa itu adalah barang yang secara material amat berharga apalagi mengingat permusuhan antara penduduk Madinah yang di pimpin oleh Nabi dengan orang-orang Mekkah yang secara dominan dipimpin oleh orang-orang dari kelompok bani Umayyah tengah berlangsung, orang-orang yang merupakan penduduk Madinah sewaktu-waktu dapat saja diserang oleh orang-orang Mekkah. Karena itu, kepemilikan atas baju perang menjadi amat bernilai.

Namun kasus kehilangan baju perang tersebut pelakunya melibatkan orang dari kelompok Anshor. Kelompok Anshor sendiri merupakan orang-orang yastrib yang menerima kedatangan Nabi sekaligus kelompok yang sejak awal membela perjuangan Nabi di yastrib.

KONFRONTASI DI PENGADILAN

Pertemuan Nabi, Zaid, dan Thu’mah

Suatu hari, Qatadah bin An-Nu’man menyadari bahwa ia telah kehilangan benda berharga miliknya yaitu sebuah baju perang. Qatadah berusaha mengingat kapan ia kehilangan benda kesayangannya itu dan ia juga sempat mencari sedikit informasi dengan bertanya kepada beberapa orang untuk menelurusi hilangnya baju perang tersebut.

Namun hal ini segera diketahui oleh Si pencuri, yaitu Thu’mah bin Abiraq dan sebetulnya baju perang itu adalah milik pamannya sendiri, ia sontak ketakutan sebab baju perang itu kini berada di rumahnya. Dengan didorong oleh rasa takut, ia pun mencari cara agar ia tidak di hukum atas perbuatannya itu.

Baca:  Misteri Danau Rakihan: Konon dijaga oleh Dua Naga

Zaid bin As-Samin adalah seorang Yahudi yang tinggal di Madinah. Tak disangka olehnya jika dia akan tertimpa masalah yang amat sulit, Ia tak pernah mengira akan dituduh sebagai pencuri. Awalnya, Thu’mah bin Abiraq menitipkan baju perang milik pamannya yaitu Qatadah bin An-Nu’man kepada Zaid,, dan Zaid pun menerima titipan barang tersebut tanpa menaruh kecurigaan kepadanya.

Tak lama setelah itu, berbekal sedikit informasi Qatadah kemudian melaporkan kasus kehilangan ini kepada Nabi Muhammad agar baju perang itu kembali ketangannya dan pelaku pencurian dijatuhi hukuman yang sepadan atas kesalahannya.

Di hadapan Nabi, Qatadah bin An-Nu’man melaporkan Zaid karena terbukti bahwa baju perang yang saat itu memang berada dirumahnya, namun selain itu ia juga melaporkan Thu’mah karena Qatadah sempat mendengar meski belum jelas dan masih simpang siur, bahwa baju perang itu sebelum berada dirumah Zaid baju perang tersebut sempat berada di rumah Thu’mah.

Hingga akhirnya berdasarkan laporan Qatadah, Thu’mah dan Zaid dipanggil oleh Nabi sebagai tersangka kasus pencurian tersebut.

Zaid dan Thu’mah memenuhi panggilan Nabi. Disamping itu, orang-orang dari kerabat dan orang-orang yang berasal dari suku yang sama dengan Thu’mah datang untuk menemani dan menunjukkan sikap solidaritasnya kepada Thu’mah di pengadilan.

Dihadapan Nabi, Thu’mah malah menuduh orang Yahudi yaitu Zaid bin As samin, sebagai pencurinya karena barang bukti telah ditemukan berada di rumah Zaid. Betapa terkejutnya Zaid, tak disangka olehnya, jika Thu’mah sendiri yang justru ikut menuduhnya melakukan pencurian baju perang milik pamannya itu.

Zaid membantah atas tuduhan tersebut, ia menyatakan bahwa baju perang itu berada dirumahnya karena dititipkan oleh Thu’mah, namun sayangnya ia tak memiliki saksi yang dapat mendukung pernyataannya itu.

Zaid terpojokkan oleh tuduhan si Thu’mah, selain karena tak memiliki saksi yang dapat menguatkan pernyataannya, Zaid juga menyadari bahwa sebagai seorang Yahudi, dia adalah orang yang secara sosial tidak memiliki “backing” yang kuat karena Yahudi saat itu adalah kelompok “minoritas” di Madinah, karena semenjak kedatangan Nabi orang-orang Yahudi secara berangsur menjadi kelompok pengikut Nabi dan mengakui Kerasulan Muhammad sehingga komunitas Yahudi menjadi semakin mengecil di Madinah.

Baca:  Panduan Cara Mandi Wajib yang Benar dan Sempurna

Di samping itu, Zaid menyadari bahwa lawannya di pengadilan adalah Thu’mah yaitu orang yang berasal dari golongan Anshor yang sejak awal menerima dan mengangkat Nabi sebagai pemimpin Di yastrib/madinah dan ikut membela perjuangannya dan Anshor sendiri terdiri dari bani Aus dan Khazraj.

Ditambah lagi Nabi sendiri yang bertindak sebagai Hakim di pengadilan tersebut, tentu wajar saja jika Nabi akan memihak dan membela orang-orang yang sejak awal membela perjuangannya “pikir Zaid”.

Kita bisa membayangkan bagaimana orang-orang yang datang menemani dan membela Thu’mah di pengadilan memandang Zaid dengan geram, seolah wajah geram mereka itu berpesan ,“hukum saja Zaid itu dia adalah orang Yahudi yang menolak Kerasulan-Mu” (pen).

Thu’mah tampil percaya diri dapat memenangkan kasus tersebut, apalagi melihat bagaimana banyaknya orang yang datang membelanya, seolah kehadiran mereka memberikan pesan kepada Nabi agar dapat membebaskan Thu’mah dari tuduhan pencurian.

Zaid semakin terpojokkan. Tak ada lagi yang dapat ia lakukan untuk membela diri, apalagi melihat semua kondisi yang menguntungkan Thu’mah di pengadilan.Oleh karena itu, Zaid dengan sendirinya berputus asa jika ia dapat memenangkan proses peradilan tersebut.

Sebaliknya, tak ada yang berani membela Zaid bahkan oleh komunitas Yahudi sekalipun, hingga ia tampak amat pasrah akan putusan yang segera menentukan Nasibnya kelak.

KEADILAN ALLAH DAN KEPUTUSAN NABI

Wahyu dan Keadilan di Pusat Persidangan

Untung saja Nabi telah menerima wahyu dari Tuhan yang Maha Melihat dan yang Maha Mengetahui. Meski tidak ada saksi manusia lain atas kejahatan si Thu’mah, Tuhan menjadi saksi atas kejahatan yang telah dilakukan;

يَّسْتَخْفُوْنَ مِنَ النَّاسِ وَلَا يَسْتَخْفُوْنَ مِنَ اللّٰهِ وَهُوَ مَعَهُمْ اِذْ يُبَيِّتُوْنَ مَا لَا يَرْضٰى مِنَ الْقَوْلِۗ وَكَانَ اللّٰهُ بِمَا يَعْمَلُوْنَ مُحِيْطًا  (١٠٨)

yastakhfûna minan-nâsi wa lâ yastakhfûna minallâhi wa huwa ma‘ahum idz yubayyitûna mâ lâ yardlâ minal-qaûl, wa kânallâhu bimâ ya‘malûna muḫîthâ 

“Mereka dapat bersembunyi dari manusia, tetapi tidak dapat bersembunyi dari Allah. Dia bersama (mengawasi) mereka ketika pada malam hari mereka menetapkan keputusan rahasia yang tidak diridai-Nya. Allah Maha Meliputi apa yang mereka kerjakan,” (QS: An-Nisa’:108).

“Menurut Asbabun Nuzul, Qur’an surat An-Nisa : 105-112 adalah tentang Thu’mah si pencuri dan Zaid yang dituduh sebagai pencuri.”

KEPUTUSAN ADIL NABI

Bela Keadilan di Atas Segala Identitas

Baca:  Rahasia Untuk Mendapatkan Pekerjaan Impian Anda

Betapa tercengangnya Zaid atas keputusan Nabi. Di tengah keputus-asaan, tak terbesit sedikit pun dipikiran Zaid jika Nabi berpihak kepadanya, yang pada saat itu semua orang menyadari bahwa proses persidangan itu telah menyudutkan si Zaid. Di mata Zaid, Nabi secara “ajaib” bersikap persis mengetahui kejadian itu, dan membelanya tanpa ragu.

Tak pernah dibayangkan olehnya jika Nabi berpihak kepada seorang “minoritas” dari Komunitas Yahudi di Madinah dan bahkan menghukum orang yang secara identitas berasal dari kelompok Nabi sendiri.

Peristiwa itu amat menggetarkan hati Zaid, kini Zaid telah menjadi saksi atas akhlak Nabi yang mengagumkan itu yang ditunjukkan oleh Nabi melalui keputusannya yang adil dan ia pun kemudian menceritakan pengalamannya itu kepada orang-orang yang satu komunitas dengannya, hingga akhirnya kisah tersebut menjadi populer di kalangan penduduk Madinah.

Untuk beberapa versi cerita yang saya baca dari “Mbah” google, masing-masing cerita sedikit banyak memiliki perbedaan, saya mengisahkannya kembali dengan konstruksi yang saya pahami.

Wallohu’alam

PEMBELAJARAN DARI KISAH INI

Mengedepankan Keadilan di Atas Segala Identitas

Secara konsep (bukan kemampuan praktek). Saya ingin mengambil pelajaran dari kisah tersebut; bahwa Islam yang diajarkan (secara lisan) bahkan sekaligus dipraktekkan oleh Nabi tidaklah identik dengan membela “orang-orang Islam” tapi justru nilai Islam identik dengan membela keadilan.

Dan keadilan merupakan salah satu nilai yang amat prinsipil dalam Islam, bahkan Al-Qur’an menuntut untuk bersikap adil melebihi pelajaran yangterkandung dalam kisah tersebut, bahkan Al Qur’an menuntut untuk bersikap adil sekalipun itu terhadap kelompok musuh yang secara sederhana, bahwa dorongan kebencian terhadap musuh akan dengan mudah membuat orang bersikap subjektif dan diskriminatif, ini disebutkan;

“jangan sampai kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu berlaku tidak adil,,,,,”. Maka, menjadi Islam, artinya menuntut kesiapan psikologis untuk berlaku adil. Teringat apa yang dituturkan oleh Nurcholish Madjid

(Cak Nur) dalam tulisannya bahwa; “kemenangan Islam tidaklah identik dengan kemenangan satu golongan saja tapi kemenangan Islam identik dengan kemenangan seluruh golongan”.

Gege Interior Bengkulu