Dempo XLer
Opini  

Debat Capres Ketiga Bukan Debat Level Presiden

Pilpres 2024
debat capres kemarin
Debat Capres Ketiga Bukan Debat Level Presiden
Tokoh Komputer Bengkulu

SorotBengkulu – Diera tsunami informasi seperti sekarang ini kita sudah berada dilevel yang paling tersulit dari memilah informasi mana yang benar mana yang salah, informasi mana yang dibutuhkan mana yang hanya diinginkan. Informasi mana yang harusnya kita taruh dikantong tidak sampai masuk keotak, informasi mana yang harusnya masuk keotak tapi tidak sampai masuk kehati.

Kita sangat kesulitan karena memang kita sudah ditsunamikan oleh informasi dari berbagai macam media khususnya media digital.

Yang kebanyakan penonton terima dari nonton debat hanya “perasaan”.  Masyarakat umum gagal melihat esensi dari debat yaitu konsep bernegaranya capres dari sisi apapun. Ya memang demikian konsep acaranya yang tidak akan merubah pandangan orang kalau sudah 01 ya 1, kalau sudah 02 ya 2, kalau sudah 03 ya 3.

Bahkan kita kesulitan untuk memilih siapa tokoh yang bisa dipercaya pandangan politiknya karena yang tampil dan terkenal adalah tokoh politik yang tergantung pada tiga sila, yaitu :

  1. Ikut siapa?
  2. Jadi apa?
  3. Dapat apa?

Jadi sangat wajar bila seseorang ngomong anu karena dia ikut si anu, jadi sesuatu anu oleh si anu, dan dapat sesuatu anu dari si anu.

Makanya saya terdorong menulis soal ini agar supaya pembaca bisa melihat bahwa masih ada kok orang yang tidak turut tergolong seperti orang-orang dengan tiga sila diatas bicara.

Debat Capres Ketiga

Debat capres kemarin secara umum bernilai sangat teknis, normatif dan garing. Sedikit keseruan terjadi dimana ada drama saat emosi terpancing dan saling ngegas. Tapi ibarat nonton film ini endingnya anti klimaks. Kalo pakai terminologi sepak bola, hasil debat kemarin malam : Ball possession dipegang ganjar, anies striker dengan tembakan tembakan ke gawang, prabowo lagi jadi bek yang asal buang bola. Pokoknya asal jangan kebobolan.

Singkatnya, prabowo digulai anies dan ganjar.

Visi proyeksi geopolitik 5.0 mencakup ide penguatan cyber yang berkaitan dengan transformasi digital. Secara keseluruhan, pertahanan harus melakukan penguatan pada domain cyber. Meskipun demikian, tidak dapat diabaikan unsur-unsur lain karena cyber merupakan alat dalam strategi pertahanan. Perbedaan muncul dalam pemanfaatan cyber ketika strategi pertahanannya berbasis prinsip defensive passive dibandingkan dengan strategi offensive passive.

Para capres tidak juga mendiskusikan postur pembangunan kekuatan militer kita yang faktanya sekarang sangat minim essential force dalam penguatan alutsista yang memberi dampak penangkal tinggi. Para capres malah ribut anggaran saling menjatuhkan sama lain.

Kita tidak juga mendengar para capres membahas doktrin visi pertahanan kita yang masih fokus pada pertahanan nasional, pertahanan pangan dan pertahanan budaya. Kita ingin mendengar para capres menguraikan pertahanan dalam konteks ancaman serangan militer dunia nantinya. Termasuk apa yang sedang terjadi belakangan seperti masuknya pengungsi rohingnya di aceh, kerusuhan di rempang. Apakah benar itu terjadi tanpa ada konteks ancaman serangan militer? Saat ini kita hanya bisa menduga-duga, padahal kita ingin capres membicarakannya.

Kemudian tidak nampak dari ketiga paslon yang membawa ide mengkorelasikan isu internasional dengan kepentingan nasional. Melakukan konsolidasi demokrasi, visi ekonomi hijau dengan memastikan posisi berada pada transisi energi bebas karbon, kesehatan global, ekonomi biru poros maritim dunia, juga pembangunan IKN harus digugat ulang apakah berdampak pada proyeksi geopolitik indonesia kedepan.

Perang soft power, penguasaan dan atau pengambilan sumber daya alam atas nama transaksi dagang akan kita hadapi. Padahal itu termasuk strategi perang negara lawan.

Ketersediaan sumber daya alam menjadi faktor penting juga berbahaya, karena merupakan bagian dari rantai pasok perdagangan dunia dari rantai produksi global. Kita harusnya menjadikan kekuatan sumberdaya alam menjadi faktor deterrence, faktor penggentar dan alat tawar, bukan hanya alat dagang seperti saat ini. Itu wilayah pertahanan yang harusnya dilakukan oleh kementrian ESDM. Namun elite kita kayaknya ga paham dan ga mau paham. Tutup mata tutup telinga karena tidak mau makan siang dengan pengawalan berbiaya mahalnya terganggu. Sialnya, para capres ga ada yang ngomong ini. Malah pada ribut anggaran dan pesawat bekas. Betul-betul tidak substantif.

Ada juga netizen yang komentar “ini mau jadi capres apa mau jadi calon menhan tahun 2024 sih?” Yang dalam hati saya angguk setengah setuju. Kayaknya lebih cocok jadi calon dirjen atau bahkan lebih dibawahnya lagi.

Kalau mengacu pada undang-undang dasar, terdapat amanat melindungi segenap tumpah darah indonesia, menjaga perdamaian dunia, dan memerdekakan bangsa terjajah. Maka jelas bila sudah terpilihnya presiden, ia harus membuat indonesia menjadi negara kuat, negara super power yang artinya sampai punya nuklir.

Bukan tidak mungkin karena masa lalu kita seperti peradaban lemuria dipulau jawa sudah memiliki teknologi nuklir yang jauh lebih hebat daripada nuklir yang ada sekarang. Indonesia ekonominya harus kuat artinya menjadi negara produsen.

Budayanya kuat artinya mengendalikan soft power dunia dengan kuliner, film, musik, kesenian dan lainnya yang berpotensi menjadi tren diluar negri. Pendidikan mental putra-putri bangsanya kuat, fisiknya kuat, dengan menaikan ukuran tubuh manusia indonesia 10 cm lebih tinggi dari rata-rata sekarang, menaikan minimal 30 poin dari rata-rata IQ penduduk, dan sarjana kampus yang 6% dari populasi harus meningkat jadi 40%.

Sekali lagi, kita nonton debat capres karena ingin tahu konsep bernegaranya.

Kalau dengan debat hanya menjawab pertanyaan normatif teknis dan warga negara tidak mendapatkan konsep bernegaranya para capres, jadi untuk apa kita nonton debat capres lagi?

Masyarakat Pasca Nonton Debat

Masyarakat yang ditarget menonton debat capres mungkin adalah masyarakat penonton TV yang tidak memiliki kecukupan informasi dan pengalaman pendidikan politik secara konkret. Padahal saat ini percakapan antar warga negara sehari-hari dalam konteks bernegara itu isinya dipenuhi politik. Misalnya kita tahu bahwa pilar bernegara itu ada tujuh, IPOLEKSOSBUDHANKAM. Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, Pertahanan, Keamanan. Harusnya, semua sisi pilar itu seimbang didalam wacana dan sikap setiap warga negara.

Tidak salah mereka juga, karena mestinya negara yang harus hadir untuk mendahului memberikan pendidikan politik kepada warga negara. Yang ada sekarang hanyalah mobilitas dan rekrutmen secara politik, tidak ada praktik kontinu untuk melakukan pendidikan mengenai politik. Makanya yang diterima ketika menonton debat hanya “perasaan”. Masyarakat umum gagal melihat esensi inti dari debat yaitu konsep bernegaranya capres dari sisi apapun.

Misalnya komentar netizen jaketnya ganjar bagus, prabowo wajahnya kayak orang capek, apa lagi sakit ya dia? Anies kok pengen di lihat pinter sih, anies memang jago sih dipanggung gede ditonton jutaan orang masih aja ngomong lancar diluar kepala. Kok ganjar menekan prabowo padahal kan sama-sama ingin melanjutkan. Kok prabowo marah. Yang masyarakat komentar hanya bungkusnya, isi debatnya banyak yang tidak perduli.

Adalagi tentang jabat tangan prabowo yang membuat anies wajahnya kecut, senyum ganjar yang senang karena merasa dibenarkan oleh prabowo dan disetujui oleh anies, ganjar ditengah dan merasa menang panggung malam itu, ya memang demikian konsep acaranya yang tidak akan merubah pandangan orang kalau sudah 01 ya 1, kalau sudah 02 ya 2, kalau sudah 03 ya 3.

Mestinya dengan acara debat capres akan menambah wawasan kita dalam bernegara dan membuat golput terdorong untuk memilih. Nyatanya tidak merubah apapun kecuali menjadi bahan ghibah dimasyarakat saja.

Saran, ganti konsep atau ganti pemainnya boleh ga KPU?

M. Yudha IF
M Yudha IF – Budayawan Muda
Baca:  Alterasi Ormas Keagamaan: Apakah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 Hanya Bentuk Legal dari Kolusi dan Nepotisme?
Gege Interior Bengkulu