Kisah di Balik Pemilihan Gus Dur sebagai Presiden pada 1999

Pilpres 2024
Gus dur
Narasi Taktis di Balik Pemilihan Gus Dur Sebagai Presiden pada 1999
Tokoh Komputer Bengkulu

SorotBengkulu – Pemilihan Presiden tahun 1999 menandai babak penting dalam perjalanan politik Indonesia, terutama setelah kejatuhan rezim Pak Harto. Saat itu, panggung politik dipenuhi ketegangan antara PDIP yang diharapkan memimpin, dengan Megawati Soekarnoputri sebagai figur potensial, atau Habibie yang mengemban tanggung jawab sebagai presiden.

Di tengah atmosfer politik yang penuh dengan keraguan dan konflik, kumpulan cendekiawan, ulama, dan pemikir berkumpul di kediaman Gus Dur di Ciganjur. Tujuan mereka adalah merumuskan solusi untuk mengatasi kebuntuan politik yang melanda.

Pertemuan tersebut menjadi sorotan karena melibatkan tokoh-tokoh kunci, termasuk Cak Nun, seorang peserta yang membawa klausul dari masa Kesultanan Demak. Klausul ini mengingatkan pada era ketika Raden Fatah belum siap menjadi raja, dan Sunan Ampel bertindak sebagai pelaksana tugas raja. Cak Nun kemudian menggambarkan analogi fungsi masyarakat pada masa lalu, di mana rakyat memiliki peran sebagai pemegang cangkul dan arit, pemerintah sebagai pemegang pedang, dan sesepuh sebagai pemegang fungsi keris.

Baca:  Kampanye di Bengkulu: Prabowo Subianto Akan Lanjutkan Hilirisasi

Menyikapi kondisi politik saat itu, Cak Nun mengusulkan kebutuhan akan sosok panembahan, begawan, pandita, atau “wong tuwek” yang dapat memimpin sementara dan merawat situasi. Usulan ini mendapatkan tanggapan positif dari Gus Dur, yang mengusulkan Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai presiden sementara. Meski demikian, usulan tersebut tidak diterima oleh pihak yang hadir.

Cak Nun pada saat itu mengemukakan bahwa Gus Dur, sebagai keturunan ke-9 dari Pangeran Benowo dengan ikatan “hutang” kepada kerajaan Demak, adalah figur yang tepat untuk memimpin dalam situasi kompleks tersebut. Meskipun seharusnya Benowo yang menjadi raja, konflik dengan Aryo Penangsang membuat putranya, Ki Gede Pemanahan alias Sutowijoyo, yang akhirnya mendirikan kerajaan Mataram. Gus Dur, sebagai perwujudan dari ikatan tersebut, dianggap sebagai pemimpin yang sesuai untuk memimpin transisi.

Baca:  Tradisi Haul Gus Dur: Memahami Spiritualitas, Kebangsaan, dan Kehidupan Pribadi yang Menginspirasi

Akhirnya, muncul gagasan membentuk poros tengah melalui Amin Rais pada saat itu untuk memastikan Golkar dan PPP memilih Gus dur. Singkatnya, keesokan harinya setelah Cak Nun bertemu Akbar Tanjung selama 30 menit, Hamzah Haz selama 30 menit, dan Pak Harto selama 2,5 jam, Gusdur terpilih menjadi presiden melalui sidang MPR 1999.

Kisah di balik penobatan Gus Dur sebagai presiden pada Pemilu 1999 mencerminkan peran strategis tokoh-tokoh intelektual dan spiritual dalam merespon keadaan politik yang penuh ketidakpastian. Keputusan untuk membentuk poros tengah dan memilih Gus Dur sebagai pemimpin sementara menjadi tonggak penting dalam sejarah politik Indonesia.

Penulis : M. Yudha IF

M. Yudha IF
Muhammad Yudha Iasa Ferrandy – Mantan ketua Umum HMI Cab. Bengkulu 2018-2019
Gege Interior Bengkulu